Nama Lengkapnya Abu Ja'Far Muhammad Ibnu Jarir Ibn Yazid Ibnu Katsir Ath-Thabari Adalah Ulama Ahli

Nama Lengkapnya Abu Ja'Far Muhammad Ibnu Jarir Ibn Yazid Ibnu Katsir Ath-Thabari Adalah Ulama Ahli

Muqatil bin Sulaiman

Kitab berjudul Tafsir Muqatil bin Sulayman merupakan karya terkenal dari ulama tafsir Muqatil bin Sulaiman. Ia adalah salah satu tokoh muslim yang terkenal pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah.

Itulah beberapa cendekiawan muslim yang terkenal dalam bidang ilmu tafsir. Berkat jasa para ahli ini, umat muslim bisa lebih memahami isi kandungan dan makna setiap ayat Al-Qur'an.

Beliau adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir Al-Ghalib. Nama fanggilan beliau adalah Abu Ja’far.

Menurut pendapat yang kuat, beliau dilahirkan pada tahun 225 H, di daerah Amal, yaitu suatu daerah yang subur di salah satu daerah di Thabaristan.

Sanjungan para Ulama terhadapnya

Al-Khatib Al-Baghdadi berkata: “Muhammad bin Jarir bin yazid bin Katsir Al-Ghalib adalah salah satu dari para imam yang perkataannya dijadikan sandaran hukum, pendapat dan pengetahuannya sering dijadikan sebagai rujukan. Imam Ath-thabari menguasai banyak ilmu, yang tidak satu pun ulama di masanya seperti dia. Dia mampu menghafal Al-Qur an sekaligus qira’atnya (cara membacanya) dan mengetahui makna berserta hukum-hukum yang dikandungnya. Dia juga menguasai hadits-hadits dan jalur-jalur periwayatannya, sehingga dia dapat memilah-milah mana yang termasuk hadits-hadits yang shahih dan mana yang tidak shahih, mana yang Nasikh dan mana yang mansukh. Imam Ath-Thabari juga juga mengetahui tentang atsar para shahabat dan peradapan manusia”. (Tarikh baghda: 2/163)

Ibnu Suraij berkata: “Muhammad bin Jarir Ath-Thabari adalah ulama ahli fikih dunia”.

Yaqut Al-Hawawi berkata: “Abu Ja’far Ath-Thabari adalah seorang ulama ahli hadits dan ahli fiqih. Dia adalah ulama yang sudah ma’ruf dan masyhur mengetahui qira’ah dan sejarah”.

Imam Ibnu Katsir berkata: “Abu Ja’far Ath-Thabari satu dari sekian banyak ulama yang memperaktekan kitab Allah ta’ala Al-Qur an dan sunnah Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam“.

Ia memulai perjalanan menutut ilmu pasca tahun 240 H. Banyak menjelajah bumi, bertemu dengan para tokoh mulia, menyodorkan bacaan al-Qur annya kepada al-‘Abbas bin al-Walid, kemudian pindah darinya menuju Madinah Munawwarah, kemudian ke Mesir, Ray dan Khurasan. Lalu akhirnya menetap di Baghdad.

Ath-Thabari mendengar dari sejumlah Syaikh, sejumlah perjalanan dilakukannya ke sekian banyak ibukota-ibukota dunia Islam yang berjaya dengan para ulama dan ilmunya, salah satunya, Mesir.

Guru-guru beliau sebagai mana yang disebutkan Oleh imam Adz-Dzahabi adalah: 1. Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Asy-Syawarib 2. Ismail Bin Musa As-Sanadi 3. Ishaq bin Abi Israel 4. Muhammad bi Abi Ma’syar 5. Muhammad bin Hamid Ar-Razi 6. Ahmad bin Mani’ 7. Abu Kuraib Muhammad Ibnul A’la 8. Ash-Shan’ani 9. Bundar 10. Muhammad bin Al-Mutsanna, dan selain mereka.

Adapun diantara murid-murid beliau adalah: 1. Abu Syuaib bin Abdillah bin Al-Hasan bin Al-Harani. 2. Abul Qasim Ath-Thabrani 3. Ahmad bin Kamil Al-Qadhi 4. Abu Bakar Asy-Syafi’i 5. Abu Ahmad Ibnu Adi 6. Mukhallad bin Ja’far Al-Baqrahi 7. Abu Mammad Ibnu Zaid Al-Qadhi 8. Ahmad bin Al-Qasim Al-Khasysyab 9. Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan 10. Abu Ja’far bin Ahmad bin Ali Al-Katib, dan selai mereka.

Ath-Thabari termasuk ulama pada masanya yang paling produktif dalam menelurkan karya tulis. Di antara karya-karya tulisnya yang paling populer adalah tafsirnya yang bernama Tafsir ath-Thabari dan kitab Tarikh al-Umam Wa al-Muluk. Diriwayatkan darinya, bahwa ia pernah berkata, “Tiga tahun lamanya, aku memohon pilihan terbaik kepada Allah dan meminta pertolonganNya atas penulisan karya tafsir yang aku niatkan, sebelum aku mengerjakannya, lantas Dia memberikan pertolonganNya kepadaku.”

Al-Hakim berkata, “Dan aku mendengar Abu Bakar bin Balwaih berkata, ‘Abu Bakar bin Khuzaimah berkata kepadaku, ‘Telah sampai ke telingaku bahwa engkau telah menulis tafsir dari Muhammad bin Jarir.’ Aku berkata, ‘Benar, aku menulis darinya secara dikte.’ Ia berkata, ‘Seluruhnya.?’ Aku berkata, ‘Ya.’ Ia berkata, ‘Tahun berapa.?’ Aku menjawab, ‘Dari tahun 283 H hingga 290 H.’ Ia berkata, ‘Lalu Abu Bakar meminjamnya dariku, kemudian mengembalikannya setelah sekian tahun, kemudian ia berkata, ‘Aku telah melihat isinya, dari awal hingga akhirnya. Aku tidak mengetahui di muka bumi ini ada orang yang paling berilmu dari Muhammad bin Jarir.’”

Sebagian ulama berkata, “Andaikata seorang laki-laki bepergian ke China hingga mendapatkan tafsir Muhammad bin Jarir, maka pastilah tidak akan banyak.”

Karyanya yang lain adalah: 1. Dzail Al-Mudzil 2. Ikhtilaf Ulama Al-Amshar Fil Ahkam Syarai Al-Islam, yang lebih dikenal dengan nama Ikhtilaf Al-Fuqaha. 3. Lathif Al-Qaul Fi Ahkam Syar’I Al-Islam, fiqih Ibnu Jarir 4. Basith Al-Qaul Fi Ahkam Al-Islam 5. Adab Al-Qudhah, dan selainya masih sangat banyak.

Metodenya Dalam Penulisan

Diriwayatkan dari Abu Sa’id ad-Dinuri, orang yang mendiktekan kepada Ibn Jarir, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari memberitahukan kepada kami tentang aqidahnya, di antaranya, “Cukuplah bagi seseorang untuk mengetahui bahwa Rabbnya adalah Dzat yang meninggi di atas ‘Arsy; siapa yang melebihi dari itu, maka ia telah berbuat sia-sia dan merugi.”

Ini adalah tafsir imam ini tentang ayat-ayat sifat yang penuh dengan perkataan-perkataan ulama Salaf dalam menetapkannya, bukan menafikan atau menakwilkannya. Bahwa sifat itu tidaklah menyerupai sifat-sifat para makhluk sama sekali.

Beberapa Momentum Dalam Hidupnya

Diceritakan, pernah al-Muktafi (khalifah) ingin menahan wakaf yang sudah disepakati oleh para ulama, lalu ia menghadirkan Ibn Jarir untuk itu, lalu ia mendiktekan sebuah kitab berkenaan dengan itu. Setelah itu, ia diberi hadiah namun ditolaknya. Lantas ada yang mengatakan kepadanya, “Harus diambil untuk memenuhi kebutuhanmu.” Lalu ia berkata, “Mintalah kepada Amirul Mukminin agar melarang meminta-minta pada hari Jum’at.” Lalu Amirul Mukminin pun melakukannya. Demikian pula, pernah seorang menteri memintanya agar mengarang sebuah buku tentang fiqih, lalu ia pun mengarang untuknya sebuah buku ringan, lalu ia diberi uang sejumlah 1000 dinar namun ditolaknya.

Ath-Thabari tidak mau menerima jabatan karena takut mengalihkannya dari menuntut ilmu. Di samping alasan lainnya, yaitu bahwa ketika itu sudah menjadi kebiasaan ulama menjauhi kekuasaan.

Al-Maraghi meriwayatkan, “Tatkala al-Khaqani memangku jabatan menteri, ia memerintahkan agar memberikan kepada Abu Ja’far ath-Thabari uang yang banyak, namun ia tidak mau menerimanya. Lalu sang menteri menawarkan jabatan Qadhikepadanya tetapi ia menolaknya, lalu menawarkan kepadanya jabatan ketua al-Mazhalim (semacam lembaga pengaduan atas tindakan zhalim), akan tetapi ia tetap menolaknya. Karena penolakannya itu, sahabat-sahahabatnya mencercanya seraya berkata, “Kamu dapat pahala menjalani jabatan ini, dapat menghidupkan sunnah.” Mereka pun mendesaknya agar menerima jabatan ‘prestisius’ itu. Mereka membawanya bersama mereka untuk menghadap guna menerima jabatan itu, namun mereka malah dihardiknya, seraya berkata, “Sungguh, aku sebelumnya mengira andai menerima jabatan itu, kalian justeru akan melarangku.” Perawi mengatakan, “Lalu kami pun berpaling darinya karena merasa malu.”

Abu Muhammad al-Firghani berkata, “Abu Bakar ad-Dinuri menceritakan kepadaku, ia berkata, ‘Tatkala waktu shalat Zhuhur tiba pada hari Senin di mana Ibn Jarir wafat di akhir waktunya, ia meminta air untuk memperbarui wudhunya, ada yang mengatakan kepadanya, ‘Sebaiknya kamu shalat jamak ta`khir saja (shalat Zhuhur dilakukan pada waktu Ashar dengan menggabungkannya dengan shalat Ashar).’ Namun ia menolak dan tetap shalat Zhuhur secara tersendiri dan Ashar juga pada waktunya secara sempurna dan demikian indahnya. Saat kematian akan menjemputnya, hadir sejumlah orang, di antara mereka ada Abu Bakar bin Kamil. Lantas ada yang berkatanya kepadanya sebelum ruhnya keluar, ‘Wahai Abu Ja’far, engkau adalah hujjah antara kami dan Allah SWT dalam keberagamaan kami, tidakkah ada sesuatu yang engkau akan wasiatkan kepada kami dari perkara agama ini, dan sebagai bukti yang karenanya kelak kami berharap dapat selamat saat kami kembali kepadaNya.?’ Ia berkata, ‘Hal yang aku jadikan agamaku kepada Allah dan aku wasiatkan adalah apa yang sudah valid (dalil yang shahih) di dalam buku-buku karyaku; amalkanlah ia…’ Dan perkataan-perkataan seperti itu. Ia lalu memperbanyak bersyahadat, berzikir kepada Allah SWT, mengusap tangannya ke wajahnya, menutup matanya dengan tangannya sendiri dan membentangkannya, lalu ruhnya pun meninggalkan dunia yang fana ini.”

Ahmad bin Kamil berkata, “Ibn Jarir wafat, malam Ahad, dua hari sebelum habis bulan Syawwal tahun 110 H, dan dikuburkan di kediamannya di ‘Rahbah Ya`qub’ (alias Baghdad).” Ia berkata, “Beliau tidak merubah ubannya di mana bulu-bulu hitam masih banyak. Matanya kecoklatan lebih cenderung kehitaman, tubuhnya kurus panjang dan lebar. Para pelayat dan pengantar jenazahnya tidak terhitung jumlahnya, hanya Allah Yang Maha Tahu.” (Abu Hafshoh)

(Sumber: Diringkas dari kitab “Min A’lamis Salaf” karya, Syaikh Ahmad Farid, edisi indonesia : “60 Bigrafi Ulama Salaf dan dari artikel berjudul, ”al-Imam ath-Thabari, Imam al-Mu`arrikhin Wa al-Mufassirin)

Para pengkaji al-Qur’an dan Tafsir wajib mengenal Ibn Jarir At-Thabari Sang Bapak Tafsir. Dijuluki sebagai bapak tafsir sebab ia memiliki sebuah karya tafsir fenomenal yang sampai saat ini masih menjadi rujukan yang wajib dipelajari oleh para pengkaji al-Qur’an dan Tafsir.

Penasaran bukan siapa sebenarnya Ibn Jarir At-Thabari dan apa karya fenomenal yang menyebabkannya dijuluki bapak Tafsir? Tulisan ini akan mengulas biografi serta karya fenomenalnya. Meskipun tidak komprehensif, namun tulisan ini penulis dedikasikan kepada para pengkaji al-Qur’an dan Tafsir untuk lebih mengenal Ibn Jarir.

Mengenal Ibn Jarir At-Thabari

Nama lengkapnya Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib At-Thabari. Ia juga dipanggil dengan sebutan (kunyah) Abu Ja’far. Perlu dicatat bahwa mengetahui kunyah Ibn Jarir sangat penting untuk tidak terkecoh dalam membaca tafsirnya. Ibn Jarir ialah seorang ulama yang berasal dari Amol, Thabaristan (sebelah selatan laut Kaspia) dan lahir di sana pada tahun 224 Hijriyah.

Abu Ja’far mulai mengembara mencari ilmu saat usinya baru menginjak 12 tahun. Ia melintasi berbagai daerah demi memenuhi rasa hausnya akan ilmu. Mulai dari Mesir, Syam serta Irak telah ia jelajahi. Pada akhirnya ia menetap di Baghdad hingga akhirnya wafat di tahun 310 Hijriyah.

Selama hidupnya, Ibn Jarir dikenal sebagai salah seorang cendekiawan yang pendapatnya atau fatwanya selalu dirujuk. Ia merupakan seorang ulama yang dikatakan menguasai seluruh keilmuan yang tidak tertandingi di masanya. Seorang penghafal al-Qur’an dan Hadis yang lengkap dengan pengetahuan akan makna dan kandungan fiqhnya serta cabang-cabang keilmuan yang ada di dalamnya.

Sebagai bukti atas keluasan ilmunya, Ibn Jarir memiliki banyak sekali karya-karya ilmiah yang sampai saat ini menjadi rujukan para pengkaji Islamic Studies. Dua dari karya-karyanya yang fenomenal antara lain Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Tafsir), Tarikh al-Umam wa al-Mulk (Sejarah). Adapun ia juga menulis dalam bidang-bidang lainnya yang tidak diketahui judulnya yaitu dalam bidang Qira’at, Asbabun Nuzul, Perbandingan Madzhab, Rijalul Hadis, Hukum Syari’at/ Fiqh.

Baca Juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Hanya dua karya fenomenalnya yang sampai pada kita dan lainnya tidak ditemukan rekam jejaknya. Itulah yang menyebabkan banyak dari karya Ibn Jarir tidak diketahui judulnya. Meskipun begitu dua karya fenomenalnya yang sampai pada kita sudah cukup untuk membuatnya dijuluki sebagai bapak Tafsir serta bapak Sejarah. Sebab dua kitab itu dinilai sebagai karya yang memiliki muatan ilmiah yang tinggi sehingga sangat pantas dijadikan sebagai rujukan utama.

Ibn Khulkan mengakui bahwa Ibn Jarir adalah seorang Imam Mujtahid (Mujtahid Mutlak) yang tidak bertaqlid pada siapapun, maka Ibn Ishaq asy-Syairazi pun menempatkannya pada kategori faqih-mujtahid. Dengan kedudukannya yang tinggi, banyak yang mengatakan bahwa Ibn Jarir telah merintis madzhabnya sendiri dan pengikutnya disebut “Jaririyah”.

Sebelum merintis jalan ijtihadnya sendiri, Ibn Jarir diketahui bermadzhab Syafi’i. Dalam kitab Al-Thabaqat al-Kubra yang dikarang oleh Imam al-Subki dikatakan bahwa Ibn Jarir adalah seorang yang bermadzhab Syafi’i dan ia juga berfatwa di bawah naungan madzhab Syafi’i selama 10 tahun di Baghdad. Hal tersebut juga senada dengan komentar as-Suyuthi dalam Thabaqat al-Mufassirin.

Dari sisi penilaian akan kualitas riwayatnya serta pribadinya, Ibn Hajar dalam kitabnya Lisan al-Mizan memberikan penilaian bahwa Ibn Jarir adalah seorang yang tsiqah (kredible). Ia juga membantah pendapat yang mengatakan bahwa Ibn Jarir adalah ulama yang memiliki keterkaitan dengan Syi’ah dan menegaskan bahwa dalam menilai seorang ulama dibutuhkan kehati-hatian.

Metode Ibn Jarir dalam Tafsirnya

Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an merupakan kitab tafsir 30 Juz yang terdiri dari beberapa volume atau jilid. Dahulu kitab ini nyaris tidak bisa kita dapati hari ini, sebelum akhirnya ditemukan versi lengkapnya di era Amir Hamud ibn Amir Abdur Rasyid dan kemudian segera disalin dan dicetak.

Seluruh pengkaji al-Qur’an baik dari Timur maupun Barat bersepakat akan tingginya level kitab ini. al-Suyuthi berpendapat bahwa karya Ibn Jarir ini merupakan karya tafsir yang paling agung dan memuat berbagai penjelasan keilmuan yang begitu luas. Al-Nawawi berpendapat bahwa tidak ada yang mampu menyaingi karya Ibn Jarir ini.

Cendekiawan Barat seperti Noldeke mengatakan bahwa jika seorang pengkaji tafsir telah membaca karya Ibn Jarir maka ia tidak membutuhkan karya-karya tafsir muta’akhir. Beberapa pendapat para cendekiawan itu membuktikan level dari karya Ibn Jarir ini sehingga tidak heran jika ia dijuluki sebagai bapak Tafsir.

Adapun dalam penulisan tafsirnya, Ibn Jarir memiliki beberapa metode yang penting untuk diketahui. Namun sebelumnya ada beberapa ciri khas dari tafsir Ibn Jarir ini yang akan disebutkan. Pertama, memiliki kalimat pembuka sebelum masuk ke penafsiran. Kalimat pembuka tersebut berbunyi seperti ini, “al-qaul fi ta’wil qauluhu ta’ala”. Kedua, mengutip seluruh riwayat penafsiran yang ada dari Sahabat maupun Tabi’in. Ketiga, tidak meringkas riwayat yang didapat dan melakukan tarjih atasnya. Keempat, menyajikan penjelasan I’rab namun tidak pada semua penafsiran. Kelima, memberikan hasil istinbat hukum dan pilihan yang dipilihnya.

Adapun secara lebih luas ada beberapa pokok metode penulisan tafsir Ibn Jarir At-Thabari yaitu: 1) mengingkari penafsiran yang hanya bersandarkan praduga tanpa adanya telaah ilmiah yang memadai (al-tafsir bi mujarrad al-ra’y); 2) memperhatikan kelengkapan dan keshahihan sanad dalam kutipannya terhadap perkataan Sahabat maupun Tabi’in; 3) menggunakan hasil ijmak umat Islam pada masalah fiqhiyah; 4) menjelaskan sisi qira’at baik asal dan kualitasnya serta melakukan analisa makna; 5) mengambil riwayat Israiliyyat dan menyertakan rantai riwayatnya dengan lengkap; 6) tidak menafsirkan redaksi yang tidak begitu penting untuk ditafsirkan secara mendalam; 7) menggunakan istilah-istilah yang lazim diketahui dalam percakapan bahasa Arab untuk mencari variasi makna; 8) menunjukan perbedaan madzhab bahasa (al-madzahib al-nahwiyah) dalam menjelaskan suatu redaksi; 9) merujuk pada sya’ir jahiliyah; 10) menampilkan diskusi di antara madzhab fiqh; 11) memasukkan diskusi madzhab kalam.

Jika ingin mendapatkan ulasan yang lebih detail mengenai Ibn Jarir At-Thabari Sang Bapak Tafsir, para pembaca bisa merujuk langsung pada kitab Al-Tafsir wa Al-Mufassirun yang dikarang oleh Adz-Dzahabi. Di sana pembaca akan mendapati contoh dari masing-masing metode yang tidak bisa dituliskan dalam tulisan ini sebab keterbatasan teknis. Wallahu a’lam.

Cendekiawan Muslim di Bidang Ilmu Tafsir

Mengutip buku Dari Saqifah sampai Imamah: Awal dan Sejarah Perkembangan Islam oleh Jafri, disebutkan beberapa cendekiawan muslim bidang tafsir. Para cendekiawan ini memiliki peran besar dan hingga kini kitabnya masih menjadi rujukan umat muslim di dunia.

Ibnu Katsir adalah seorang cendekiawan muslim bidang ilmu tafsir yang hidup pada masa Daulah Abbasiyah. Ibnu Katsir merupakan salah sosok seorang pemikir dan ulama ahli tafsir yang berasal dari Busra, Suriah.

Kitab atau buku tafsirnya yang sangat terkenal berjudul Tafsir Ibnu Katsir. Dalam buku ini dijelaskan setiap ayat Al-Qur'an secara menyeluruh. Setiap ayat yang berkaitan telah dijelaskan secara rinci dan detail.

Ibnu Abbas merupakan cendekiawan muslim yang terkenal di masa Dinasti Bani Umayyah. Ibnu Abbas lahir di Makkah pada tahun 619 dengan nama lengkap Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf Al-Quraisy.

Ibnu Abbas banyak menafsirkan ayat Al-Qur'an dan juga perawi hadits. Bukunya yang berjudul Tafsir Ibnu Abbas bahkan dikenal sebagai tafsir tertua di dunia.

Ibnu Jarir ath-Thabari atau yang dikenal sebagai Ath Thabari adalah tokoh ilmu tafsir dari Persia. Ath-Thabari lahir pada tahun 839 dan memiliki nama lengkap Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari.

Banyaknya ayat Al-Qur'an yang telah ditafsirkan menjadikan ia dijuluki sebagai Bapak Ilmu Tafsir. Karya tafsir Ath-Thabari yang paling terkenal adalah Jami' al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'an atau Tafsir al-Tabari.

Ibnu Athiyah juga dikenal sebagai cendekiawan muslim dalam bidang ilmu tafsir. Sosok yang memiliki nama lengkap Abu Muhammad 'Abd al-Haqq bin Galib bin 'Abdurrahman bin Ghalib bin 'Abd al-Rauf bin Tamam bin 'Abd Allah bin Tamam bin Athiyyah bin Khalid bin Athiyyah al-Muharibi al-Dakhil ini wafat pada tahun 1146 M.

Penjelasan Singkat Tentang Tasawuf

Secara etimologis/lughowi tasawuf berasal dari beberapa kata yaitu Shaff  (saf/baris), Shafa (bersih), Shuffah atau shuffat al-masjid (serambi masjid), Shuf  (bulu domba), Shopos dari bahasa Yunani (hikmah kebijaksanaan), Shaufana (jenis buah-buahan yang berbentuk kecil dan berbulu yang tumbuh banyak di gurun pasir Arab), dan Shuffah (suatu kamar disamping Masjid Nabawi yang disediakan untuk sahabat Nabi dari golongan Muhajirin yang miskin).

Sedangkan secara terminologis/istilah tasawuf adalah pengetahuan tentang semua bentuk tingkah laku jiwa manusia, baik yang terpuji maupun tercela, kemudian bagaimana membersihkannya dari yang tercela itu dan menghiasinya dengan yang terpuji, bagaimana menempuh jalan kepada Allah  dan berlari secepatnya menuju kepada Allah.

Pesufi Ath-Thabari memiliki nama lengkap yaitu Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Katsir Ibn Galib Ath-Thabari. Akan tetapi beliau lebih dikenal dengan nama Ibn Jarir atau At-Thabari. Beliau dilahirkan di Amol, Thabaristan sekitar pada tahun 224 H atau 225 H (sekitaran tahun 838 atau 840 M) dan meninggal pada ahad sore di penghujung bulan Syawal di Baghdad pada tahun 310 H/923 M.

At-Thabari merupakan seorang ilmuwan Islam pertama yang mendedikasikan diri pada bidang sejarah dan tafsir Al-Qur’an. Beliau juga merupakan seorang sejarawan muslim pertama sekaligus ahli tafsir Al-Qur’an pertama di dunia. Selain itu Ath-Thabari juga ahli dalam berbagai bidang diantaranya dalam, fiqh, qira’at, tarikh, dan hadist.

Sejak kecil beliau haus akan ilmu sastra dan sejarah. Beliau juga sudah hafal Al-Qur’an sejak dini yaitu pada usia tujuh tahun. Di usia ke delapan At-thabari dipercayai untuk menjadi seorang imam sholat di kotanya. Lalu diusia ke sembilan Ath-Thabari menjadi seorang penulis hadist. Beliau mendapatkan dan mempelajari ilmu-ilmu dasar yang dikuasainya di kota kelahirannya. Ath-Thabari merupakan anak dari lingkungan keluarga yang berada yang mana sangat memperhatikan masalah pendidikan khususnya dalam bidang agama. Sehingga beliau dengan mudah untuk melanjutkan studinya ke pusat-pusat study dunia islam seperti Baghdad, Mesir, Mekkah, Syria, Irak, Persia, dan negeri-negeri muslim lainnya.

Peran Ath-Thabari Dalam Mengembangkan Tasawuf

Kecintaan beliau terhadap Islam yang begitu dalam, Ath-Thabari menuntut Ilmu ke berbagai negeri. Awal mulanya beliau merantau ke Baghdad untuk memperdalam pengetahuannya dibidang sastra, filsafat, dan geologi. Ditengah perjalannya menuntut ilmu di Baghdad beliau juga memperdalam pengetahuannya dibidang ilmu tafsir dan hadist.  Selain Baghdad, beliau juga menuntut ilmu di negara Mekkah, Mesir, Syria, Irak, Persia, dan negeri-negeri muslim lainnya.

Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya

Penjelasan Singkat Tentang Tasawuf

Secara etimologis/lughowi tasawuf berasal dari beberapa kata yaitu Shaff  (saf/baris), Shafa (bersih), Shuffah atau shuffat al-masjid (serambi masjid), Shuf  (bulu domba), Shopos dari bahasa Yunani (hikmah kebijaksanaan), Shaufana (jenis buah-buahan yang berbentuk kecil dan berbulu yang tumbuh banyak di gurun pasir Arab), dan Shuffah (suatu kamar disamping Masjid Nabawi yang disediakan untuk sahabat Nabi dari golongan Muhajirin yang miskin).

Sedangkan secara terminologis/istilah tasawuf adalah pengetahuan tentang semua bentuk tingkah laku jiwa manusia, baik yang terpuji maupun tercela, kemudian bagaimana membersihkannya dari yang tercela itu dan menghiasinya dengan yang terpuji, bagaimana menempuh jalan kepada Allah  dan berlari secepatnya menuju kepada Allah.

Pesufi Ath-Thabari memiliki nama lengkap yaitu Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Katsir Ibn Galib Ath-Thabari. Akan tetapi beliau lebih dikenal dengan nama Ibn Jarir atau At-Thabari. Beliau dilahirkan di Amol, Thabaristan sekitar pada tahun 224 H atau 225 H (sekitaran tahun 838 atau 840 M) dan meninggal pada ahad sore di penghujung bulan Syawal di Baghdad pada tahun 310 H/923 M.

At-Thabari merupakan seorang ilmuwan Islam pertama yang mendedikasikan diri pada bidang sejarah dan tafsir Al-Qur’an. Beliau juga merupakan seorang sejarawan muslim pertama sekaligus ahli tafsir Al-Qur’an pertama di dunia. Selain itu Ath-Thabari juga ahli dalam berbagai bidang diantaranya dalam, fiqh, qira’at, tarikh, dan hadist.

Sejak kecil beliau haus akan ilmu sastra dan sejarah. Beliau juga sudah hafal Al-Qur’an sejak dini yaitu pada usia tujuh tahun. Di usia ke delapan At-thabari dipercayai untuk menjadi seorang imam sholat di kotanya. Lalu diusia ke sembilan Ath-Thabari menjadi seorang penulis hadist. Beliau mendapatkan dan mempelajari ilmu-ilmu dasar yang dikuasainya di kota kelahirannya. Ath-Thabari merupakan anak dari lingkungan keluarga yang berada yang mana sangat memperhatikan masalah pendidikan khususnya dalam bidang agama. Sehingga beliau dengan mudah untuk melanjutkan studinya ke pusat-pusat study dunia islam seperti Baghdad, Mesir, Mekkah, Syria, Irak, Persia, dan negeri-negeri muslim lainnya.

Peran Ath-Thabari Dalam Mengembangkan Tasawuf

Kecintaan beliau terhadap Islam yang begitu dalam, Ath-Thabari menuntut Ilmu ke berbagai negeri. Awal mulanya beliau merantau ke Baghdad untuk memperdalam pengetahuannya dibidang sastra, filsafat, dan geologi. Ditengah perjalannya menuntut ilmu di Baghdad beliau juga memperdalam pengetahuannya dibidang ilmu tafsir dan hadist.  Selain Baghdad, beliau juga menuntut ilmu di negara Mekkah, Mesir, Syria, Irak, Persia, dan negeri-negeri muslim lainnya.

Ath-Thabari merupakan ilmuwan yang sangat produktif dalam menulis gagasannya, beliau setiap hari menulis 40 halaman yang mana hal itu telah dilakukan selama 40 tahun. Ath-Thabari disebut-sebut telah memberikan dua karya yang sangat luar biasa bagi dunia yaitu karya sejarah (Akhbar Ar-Rusul Wa’l-Muluk ) dan karya ilmu tafsir Al-Qur’an.

Dalam bidang ilmu hadis At-Thabari berguru ke tempat Imam Bukhori berguru. Dalam bidang sejarah, dengan kitabnya yang terkenal yaitu Tarikh al Umam wa Al Muluk. Setelah sampai di Persia beliau mengunjungi Irak dan pada saat perjalanan menuju Baghdad beliau mendengar berita wafatnya Imam Ahmad Ibn Hanbal. Sepeninggal Imam Ahmad Ibn Hannad, Ath-Thabari berguru ke Bashrah Ibn al A’la al-Hamzani, Hannad Ibnu Sayry dan Ismail bin Musa, dan dalam bidang Fiqih khususnya Madzhab al-Syafi’I ia berguru pada al-Hasan ibn Muhammad al-Za’farany.

Dari Irak menuju mesir dalam perjalanan beliau terlebih dahulu singgah ke Beirut untuk memperdalam ilmu Qiraat, kepada Abbas Ibn al-Walid al-Bairuni. Di Mesir, beliau bertemu dengan sejarawan yang terkenal yaitu Ibn Ishaq. Di mesir beliau juga mempelajari mazhab maliki yang mana beliau juga menekuni Madzhab Syafi’I, kepada murid langsung imam Syafii yaitu al Rabi al-Jizi. Selama di Mesir semua ilmuwan datang menemuinya sambil mengujinya sehingga ia menjadi sangat terkenal di sana. Dari Mesir, beliau  kembali ke Negeri asalnya Thabaristan, tapi pada tahun 310 H (923M) dengan usia sekitar 75 tahun Ath-Thabari wafat di Baghdad.

Pemikiran Ath-Thabari

At-Thabari menganut aliran Ahlussunnah wal Jamaah. Salah satu karyanya yang terpengaruh dari aliran tersebut adalah Sharih As-sunnah. Selain itu beliau juga mendukung madzhab ulama salaf dalam bidang tafsir. Hal yang berkaitan dengan sanad riwayat yang dikutip dalam tafsir, At-Thabari tidak menyertakan penjelasannya tentang sanad yang shahih dan dha’if. Adapun berkaitan dengan hukum fiqih yang disampaikan menyertakan pendapat ulama dan mazhabnya, serta memilih salah satu pendapat lalu mentarjihnya.

Kitab Tafsir Alquran Imam Thabari merupakan tafsir generasi pertama yang menjadi rujukan utama para mufassir, salaf dan kontemporer. Metode yang digunakan yaitu metode tahlili. Metode ini merupakan metode utama yang digunakan oleh Imam Khobari yang sifatnya analisis yakni menafsirkan Alquran dengan cara menjelaskan ayatnya dari berbagai aspek.

Karakteristik tafsir Ath-Thabari yaitu menggunakan metode ilmiah yang memiliki unsur-unsur yang jelas dan sempurna, beliau juga menggabungkan antara riwayat, dirayat, dan keontetikan. Dari sisi riwayat, Ath-Thabari memperoleh dari studinya terhadap sejarah sirah nabawiyah, bahasa, syair, qiroat dan ucapan orang-orang terdahulu. Adapun diroyah, beliau peroleh dari perbandingannya terhadap pendapat-pendapat para fuqoha. Kemudian dari pengetahuannya terhadap ilmu Hadis yang menyangkut studi sanad, kondisi perawi dan kedudukan hadits.Salah satu hal yang mempertajam sisi diroyatnya adalah karena Ath-Thabari pandai ilmu jaddal yaitu ilmu yang menjadi sarana untuk mengadu dalil dan argumentasi di mana thodari adalah pakarnya.

Sumber-sumber penafsiran Ath-Thabari di dalam Muqaddimah Jami al-bayan ini meliputi riwayat atau al-ma’tsurat dari Rasulullah, kemudian pendapat sahabat/tabiin juag dari kalangan ulama pendahulunya khususnya dalam rujuk persoalan nahwu, bahasa, ataupun qiroah. Kemudian metode-metode penulisan tafsir metode yang digunakan dalam kitab ini yaitu metode tahlili merupakan metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Alquran dengan mepaparkan segala makna dan aspek yang terkandung didalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam Al-Qur’an mushaf Utsmani

Dalam hal sistematika penulisan kitab Ath-Thabari menggunakan yang mana dari dalam setiap bukunya terdapat langkah-langkah penting diantaranya dengan menetapkan dan membatasi tema yang akan dibahas baik itu merupakan ayat dan penafsirannya atau penjelasan sebuah hadits kemudian menyimpulkan berbagai pendapat mengenai aqidah hukum fiqih qiroat satu pendapat atau permasalahan.

Ulasan Karya-karya Ath-Thabari

Ath-Thabari disebut-sebut telah memberikan dua karya yang sangat luar biasa bagi dunia yaitu karya sejarah (Akhbar Ar-Rusul Wa’l-Muluk ) dan karya ilmu tafsir Al-Qur’an.

Selain dua karya monumental tersebut masih banyak karya-karya Ath-Thabari lainnya seperti kitab Jami’ al-Bayan yang berisi tentang hukum akidah dan fikih. Kitab ini bersumber pada Alquran Hadis dan juga ijtihad para sahabat. Kitab ini juga bahkan menjadi rujukan dalam ilmu filologi. Karya luar biasa Ath-Thabari lainnya adalah kitab Ikhtilaf Al-Fuqaha. Kitab ini membahas tentang perbedaan pendapat diantara para ulama. Kitab ini beliau dedikasikan untuk kerukunan dan persatuan umat Islam di atas perbedaan mazhab.

Karya lain ari Ath-Thabari berdasarkan klasifikasi substansi materialnya, sebagai berikut yaitu pertama dalam bidang hukum (Adab al- Manasik, Al-Adar fi al-Usul, Basit (belum sempurna ditulis), Ikhtilaf, Khafi, Latif al-Qaul fi Ahkam Syara'I al-Islam (telah diringkas dengan judul al-Khafif fi Ahkam Syar'I al-Islam), Mujaz (belum sempurna ditulis), dan Radd 'ala Ibn 'Abd al-Hakam). Kedua, dalam bidang Kajian Hadist (Ibarah al-Ru'ya, Tahzib (belum sempurna ditulis), Fad'il (belum sempurna ditulis) dan Al- Musnad al-Mujarrad). Ketiga, Bidang Kajian Teologi, (Dalalah, Fad'il 'Ali bin Abi Thalib, Radd 'ala zi al-Asfar (sebelum 270 H) dan belum sempurna ditulis berupa risalah dan Ar-Radd 'ala al_Harqusiyyah, Sarih, Tabsir atau al-  Basir fi  Ma'alim al-Din (sekitar 290 H).). Keempat, dalam Bidang Kajian Etika Keagamaan (Adab al-Nufus al-Jayyidah wa al-Akhlaq al-Nafisah, Fada'il dan Mujaz dan Adab al-Tanzil, berupa risalah).

Pengaruh Ath-Thabari Terhadap Ulama Sufi Lainnya

Ath-Thabari sebelum wafat, salah satu muridnya menengar beliau mengatakan sempat berwasiat “kerjakanlah apa apa yang kutulis dalam karya-karyaku, janganlah menyalahinya, perbanyaklah mengerjakan salat dan berzikir”. Para ulama sufi lainnya sangat menghargai dan hormat kepada Ath-Thabari. Sebab At-Thabari memiliki kemampuan untuk berijtihad sehingga beliau dikenal sebagai mujtahid mutlak. Karya kitab tafsir dari Ath-Thabari juga di jadikan rujukan bagi para ulama sufi sesudahnya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dari segi qiraah, Ath-Thabari sangat antusias untuk menjelaskan arti pentingnya, sekaligus menolak bacaan yang keluar dari kaidah serta pengaruh yang ditimbulkan, baik dari segi perubahan maupun penggantian yang merusak makna. Kitab tafsir At-Thabari memiliki andil yang sangat besar dalam bidang ilmu Bahasa dan nahwu.

Niam, Syamsun. 2014. TASAWUF STUDIES: Pengantar Belajar Tasawuf. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Yatim, Badri. 1997. HISTORIOGRAFI ISLAM. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.

Aburrohman, A. 2018. Metodologi al-Thabari dalam Tafsir Jami’ul al-Bayan fi Ta’wili al-Qur’an. Kordinat: Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agama Islam. 17(1), 65-88.

Purwanto, Rachmad. 2019. “KONSEP ULAMA DI ERA KLASIK DAN KONTEMPORER DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Studi komparasi surah al-Fatir ayat 28 dalam tafsir Jami’ al-Bayan fi tafsir Al-Qur’an dan tafsir al-Misbah)”. Skripsi. Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel: Surabaya.

Putra, Grand Colon Amdhana Priin. 2020. “Mengenal Imam Ath-Thabari, Sosok Mufassir Polimatik”, https://sanadmedia.com/post/mengenal-imam-ath-thabari-sosok-mufassir-polimatik, diakses pada 29 Maret 2022 pukul 14.25.

Samsurrohman. 2014. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Amzah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya

Oleh: Mela Anjelia NASAB DAN KELAHIRAN Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir Ath-Thabary. Adz Dzahabi mengatakan bahwa beliau adalah seorang imam, mujtahid, ulama di masanya, dan sang pemilik karya tulis yang sangat indah. Beliau dilahirkan pada tahun 224 H (839 M) di Thabaristan tepatnya di Kota Amul. Kota ini merupakan kota terbesar di Thabaristan dan merupakan salah satu propinsi di Persia yang terletak di sebelah utara Gunung Alburz. Adapun Ath Thabari diambil dari nama tempat beliau dilahirkan yaitu di Thabaristan. PERJALANAN MENUNTUT ILMU Ibnu Jarir menuntut ilmu setelah tahun 240 H dengan banyak melakukan rihlah (perjalanan jauh) sehingga beliau bertemu dengan para ulama di masanya. Beliau pun menjadi salah satu ulama mumpuni dan cerdas lagi mampu menghasilkan banyak karya tulis. Sungguh sulit untuk mencari ulama yang selevel dengan beliau di masanya. Beliau adalah ulama yang sangat produktif dalam membuat karya tulis dan mengajar. Beliau pernah menempuh perjalanan ke Kota Ray di Iran dan di sana beliau mempelajari serta meriwayatkan hadis. Di kota tersebut beliau juga berkesempatan untuk belajar ilmu sejarah dari Muhammad bin Ahmad Ad-Daulabi dan ilmu fikih dari Ibnu Muqatil. Selanjutnya beliau pergi menuju ke Baghdad dengan harapan bisa bersua dengan lmam Ahmad bin Hanbal. Namun sayang sebelum keinginan itu terwujud, sang imam telah meninggal dunia. Di antara kota yang juga beliau kunjungi adalah Kufah, di situlah beliau belajar ilmu hadis dan juga qira’ah, selain itu masih ada beberapa tempat yang sempat beliau kunjungi untuk menimba ilmu agama, GURU-GURU DAN MURID-MURIDNYA Suatu hal yang logis jika Ibnu Jarir memiliki guru yang banyak karena seringnya rihlah yang sering beliau lakukan. Di antara kota kota yang pernah menjadi tempat persinggahannya adalah Baghdad dan belajar fikih syafi’iyah kepada Hasan Za’farani. Adapun di Bashrah, beliau belajar hadis kepada Abu Abdillah Ash-Shan’ani. Demikian halnya Kufah, Mesir Damaskus, dan yang lainnya. Beliau sempat kembali ke Thabaristan yang merupakan tempat kelahirannya, namun akhirnya kembali ke Baghdad dan menetap di sana. Di antara guru beliau adalah Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Syawarib, Ismail bin Musa As-Sudi, Muhammad bin Humaid Ar-Razi, Abu Kuraib Muhammad bin Al-Ala, Muhammad bin Abdul A’la Ash- Shan’ani, Bundar, Muhammad bin Al-Mutsanna, Yunus bin Abdul A’la, Ahmad bin Al-Miqdam Al-Ijli, Sawwar bin Abdullah Al-Anbari, Muhanna bin Yahya, Ali bin Sahl Ar-Ramli, dan masih banyak yang lainnya. Sebagai ulama yang luas ilmunya dan cerdas, beliau memiliki murid yang banyak dan menjadi tujuan para penuntut ilmu dari berbagai negeri antara muridnya adalah Abu Syuaib Abdullah bin Al-Hasan Al-Harrani, Abul Qasim Ath-Thabarani, Ahmad bin Kamil Al-Qadhi, Makhlad bin Ja’far Al-Baqarhi, Ahmad bin Al-Qasim Al Khasysyab, Abu Ja’far Ahmad bin Ali Al-Katib, Abul Muhammad bin Abdullah bin Said, Al-Mu’alla dan masih banyak yang lainnya. KARYA TULISNYA Ibnu Jarir adalah sosok ulama yang sangat tekun dan semangat dalam menulis. Al Khatib menuturkan “Aku pernah mwndengar Samsani mengatakan bahwa Ibnu Jarir selama empat puluh tahun mampu menulis empat puluh halaman dalam setiap harinya. Subhanallah, luar biasa memang ketekunan dan antusias beliau dalam menghasilkan karya tulis. Berikut sebagian karya-karya ini beliau Jami’ Al Bayan fi Tafsir Al Quran yang lebih populer dengan nama Tafsir Ath-Thabari. Ini merupakan salah satu karya monumental beliau dalam bidang ilmu tafsir. Tarikhul Rijal Lathiful Qaul fi Ahkami syara il Al Qira’at wat Tanzil wall Adad Ikhtilaful Ulama Al-Amshar Al-Khafif fi Ahkami syara’ il Islam Ath-Tabshir Tahdzibul Atsar Musnad Ibnu Abbas. Namun beliau meninggal sebelum menyelesaikan kitab ini. Dan masih banyak yang lainnya. SANJUNGAN PARA ULAMA Pujian para ulama pun mengalir kepada lbnu Jarir Ath-Thabari yang menunjukkan bahwa kapasitas belia sebagai ulama besar memang diakui. Abu Said bin Yunus mengatakan, “Muhammad bin Jarir termasuk penduduk Amul. Ia menulis di Mesir kembali ke Baghdad dan ia mampu menghasilkan karya-karya indah yang menunjukkan keluasan ilmunya.” Al-Khatib berkata, “Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib adalah seorang ulama besar. Fatwanya dijadikan rujukan dan pendapatnya diambil karena pengetahuan serta keutamaannya. Ia mampu menghimpun berbagai cabang ilmu yang tidak mampu dilakukan oleh seorang pun di masanya. Ia hafal Kitabullah, menguasai berilmu tentang makna-maknanya uran), faqih berbagai hukum Al-Quran, dalam berilmu tentang dan jalan-jalan periwayatannya, mampu memilah shahih, lemah, nashikh, man mengerti tentang ucapan para sahabat dan tabiin, berilmu juga tentang hari-hari kemenangan kaum muslimin dan berita-berita tentang mereka. Ia mempunyai sebuah kitab yang sangat populer tentang berita dan sejarah umat terdahulu. Ia juga punya kitab tafsir yang bernama Tahdzibul Atsar yang belum pernah aku melihat sebelumnya makna makna yang terkandung di dalamnya Namun ia belum menyempurnakan kitab itu. Ia juga memiliki kitab yang banyak tentang ushul fiqh dan cabang cabangnya dari ucapan para ahli fiqh.” Adz-Dzahabi sendiri menyatakan “Ibnu Jarir adalah seorang yang tsiqah (terpercaya), jujur, hafizh, pemimpin dalam bidang ilmu tafsir, imam dalam ilmu fikih, ijma’, dan perselisihan ulama juga seorang yang sangat berilmu dalam hal sejarah dan kemenangan muslimin, menguasai ilmu qira’ah, bahasa dan yang lainnya” AKHIR HAYATNYA Abu Muhammad Al Farghani (salah seorang murid Ibnu Jarir) mengatakan Abu Bakr Ad-Dinawari berkisah bahwa ketika tiba waktu salat Zhuhur pada hari meninggalnya beliau yaitu hari senin, Ibnu Jarir memint air untuk memperbarui wudhunya. Lalu ada yang berkata kepadanya, “Sebaiknya anda mengakhirkan salat Zhuhur dan menjamaknya dengan salat Ashar”. Namun beliau menolak dan mengerjakan salat Zhuhur sendiri pada awal waktunya. Demikian halnya salat Ashar beliau kerjakan pada waktunya dengan tata cara salat yang sempurna dan baik. Tatkala Ibnu Jarir akan meninggal dunia, ada beberapa orang yang yang berada di samping beliau dan di antaranya adalah Abu Bakr bin Kamil. Saat itu ada yang bertanya kepada beliau sebelum menghembuskan nafas yang terakhir. “Wahai Abu Ja’far, anda adalah hujjah antara kami dan Allah pada urusan agama kami. Apakah ada sesuatu yang hendak anda wasiatkan kepada kami terkait dengan urusan agama kami atau suatu keterangan yang kami mengharapkan keselamatan dengannya?” Beliau pun menjawab, “Yang aku beribadah kepada Allah dengannya dan aku wasiatkan kepada kaian adalah apa yang aku ikaarkan dalam kitab-kitabku, maka amalkanlah”. Kemudian setelah itu, beliau pun meninggal. semoga Allah merahmati beliau dan membalas kebaikan-kebaikannya. Allahu a’lam.

Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari (bahasa Arab: أبو جعفر محمد بن جرير بن يزيد بن كثير بن غالب الأملي الطبري, 838 M / 224 H- 923 M / 310 H) atau lebih dikenal sebagai Ibnu Jarir ath-Thabari[2] adalah seorang sejarawan dan pemikir muslim dari Persia, lahir di daerah Amol atau Amuli, Thabaristan (sebelah selatan Laut Kaspia).[3][4] Semasa hidupnya, ia belajar di kota Ray, Baghdad, kemudian Syam dan juga di Mesir. Para ahli sejarah mencatat bahwa semasa hidupnya, ath-Thabari tidak pernah menikah.[3][5]

Ath-Thabari adalah cendekiawan yang suka berkelana. Banyak kota-kota yang beliau singgahi salah satunya yaitu Baghdad. Di Bagdhad, ia mempelajari Mazhab Syafi'i dari Hasan Za'farani, kemudian di Basra ia belajar dengan Abu Abdullah as-Shan’ani. Di Kufah ia belajar dengan Tsa'lab.[3]

Di antara karyanya yang terkenal adalah Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Nabi dan Raja), atau lebih dikenal sebagai Tarikh ath-Thabari.[4] Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi 40 jilid, berjudul The History of al-Tabari. Kitab ini berisi sejarah dunia hingga tahun 915, dan terkenal karena keakuratannya dalam menuliskan sejarah Arab dan Muslim.

Karya lainnya yang juga terkenal berupa Tafsir Quran bernama Tafsir ath-Thabari, yang sering digunakan sebagai sumber oleh pemikir muslim lainnya, seperti Al-Baghawi, as-Suyuthi dan juga Ibnu Katsir.

Ath-Thabari lahir di Amol, Thabaristan (sekitar 20 km selatan Laut Kaspia) pada musim dingin tahun 838–39. Ia digambarkan sebagai keturunan Persia atau Arab.[7][8][9][10][11] Dia menghafal al-Qur'an pada usia tujuh tahun, menjadi imam shalat yang berkualitas pada usia delapan tahun, dan mulai mempelajari hadis kenabian pada usia sembilan tahun. Dia meninggalkan rumah untuk belajar pada tahun 236 H (850/1 M), ketika dia berusia dua belas tahun. Dia mempertahankan hubungan dekat dengan kampung halamannya. Dia kembali setidaknya dua kali, kedua kalinya pada tahun 290 H (903 M), ketika sikapnya yang blak-blakan menyebabkan kegelisahan dan menyebabkan kepergiannya dengan cepat.

Dia pertama kali pergi ke Ray (Rhages), di mana dia tinggal selama lima tahun. Seorang guru utama di Rayy adalah Abu Abdillah Muhammad bin Humayd al-Razi, yang sebelumnya mengajar di Bagdad, tetapi sekarang berusia tujuh puluhan Selama di Ray, ia juga mempelajari ilmu hukum Islam menurut mazhab Hanafi.[15] Di antara materi lainnya, Ibnu Humaid mengajari Jarir ath-Thabari karya-karya sejarah Ibnu Ishaq, khususnya al-Sirah, kehidupannya tentang Muhammad. ath-Thabari dengan demikian diperkenalkan di masa muda ke sejarah pra-Islam dan awal Islam. Ath-Thabari sering mengutip Ibnu Humaid, tetapi sedikit yang diketahui tentang guru ath-Thabari lainnya di Ray.

ath-Thabari kemudian pergi untuk belajar di Bagdad di bawah Ahmad bin Hambal, yang, bagaimanapun, baru saja meninggal (pada akhir 855 atau awal 856). ath-Thabari kemungkinan berziarah sebelum kedatangannya yang pertama di Bagdad. Dia meninggalkan Bagdad mungkin pada tahun 242 H (856/7 M) untuk melakukan perjalanan melalui kota-kota selatan Basra, Kufah dan Wasit. Di sana, ia bertemu dengan sejumlah sarjana terkemuka dan terhormat. Selain mempelajari hukum Hanafi sebelumnya, ath-Thabari juga mempelajari ritus Syafi'i, Maliki dan Zahiri.[20] Studi ath-Thabari tentang sekolah yang terakhir adalah dengan pendirinya, Dawud al-Zahiri,[20] dan ath-Thabari menyalin dan menyebarkan banyak karya gurunya.[21] Ath-Thabari kemudian berpengalaman dalam empat dari lima sekolah hukum Sunni yang tersisa, sebelum mendirikan sekolahnya sendiri yang independen, namun akhirnya punah. Perdebatannya dengan mantan guru dan teman sekelasnya diketahui, dan berfungsi sebagai demonstrasi kemerdekaan tersebut.[22] Khususnya hilang dari daftar ini adalah Hanbalisekolah, sekolah hukum terbesar keempat dalam Islam Sunni di era sekarang. Pandangan ath-Thabari tentang Ibnu Hanbal, pendiri sekolah, menjadi sangat negatif di kemudian hari. Ath-Thabari sama sekali tidak menganggap perbedaan pendapat Ahmad bin Hambal ketika mempertimbangkan berbagai pandangan ahli hukum, yang menyatakan bahwa Ahmad bin Hambal sama sekali bukan seorang ahli hukum tetapi hanya seorang pencatat Hadis.[23]

Sekembalinya ke Baghdad, ia mengambil posisi mengajar dari wazir, Ubaidullah bin Yahya bin Khaqan. Ini terjadi sebelum 244 H (858), karena wazir tidak menjabat dan diasingkan dari tahun 244 sampai 248 (858–9 sampai 862). Ada sebuah anekdot yang mengatakan bahwa ath-Thabari telah setuju untuk menjadi tutor untuk sepuluh dinar sebulan, tetapi pengajarannya sangat efektif dan tulisan anak laki-laki itu sangat mengesankan sehingga guru tersebut ditawari nampan berisi dinar dan dirham. Ath-Thabari yang selalu etis menolak tawaran tersebut, dengan mengatakan bahwa dia telah melakukan pekerjaannya dengan jumlah yang ditentukan, dan tidak dapat menerima lebih banyak dengan hormat. Itu adalah salah satu dari sejumlah riwayat tentang dia yang menolak hadiah atau memberikan hadiah dengan jumlah yang sama atau lebih besar sebagai balasannya.

Di usia akhir dua puluhan, dia melakukan perjalanan ke Suriah, Palestina, India, dan Mesir. Di Beirut, dia membuat hubungan yang sangat signifikan dengan al-Abbas bin al-Walid bin Mazyad al-'Udzri al-Bayruti (c. 169–270/785–86 hingga 883–84). Al-Abbas menginstruksikan ath-Thabari dalam varian bacaan al-Qur'an sekolah Suriah dan menyampaikan melalui ayahnya al-Walid pandangan hukum al-Awza'i, ahli hukum terkemuka Beirut dari abad sebelumnya.

Ath-Thabari tiba di Mesir pada tahun 253 H (867 M), dan beberapa waktu setelah 256/870, dia kembali ke Baghdad, mungkin berziarah dalam perjalanan. Jika demikian, dia tidak tinggal lama di Hijaz. Ath-Thabari memiliki penghasilan pribadi dari ayahnya saat dia masih hidup, dan kemudian warisan. Dia mengambil uang untuk mengajar. Di antara murid ath-Thabari adalah Ibnul Mughallis, yang juga murid dari guru ath-Thabari sendiri Muhammad bin Dawud al-Zahiri; Ibnul Mughallis memuji ath-Thabari dengan pujian yang hampir berlebihan.[31] Ia tidak pernah mengambil posisi pemerintahan atau yudisial.

Ath-Thabari berusia sekitar lima puluh tahun ketika al-Mu'tadid menjadi khalifah. Dia berusia lebih dari tujuh puluh tahun pada tahun Sejarahnya diterbitkan. Selama tahun-tahun berikutnya, dia adalah orang yang terkenal (walaupun agak kontroversial). Di antara tokoh-tokoh seusianya, ia memiliki akses ke sumber informasi yang setara dengan siapa pun, kecuali, mungkin, mereka yang terkait langsung dengan pengambilan keputusan di pemerintahan. Sebagian besar, jika tidak semua, bahan untuk sejarah al-Mu'tadid, al-Muktafi, dan tahun-tahun awal al-Muqtadir, dikumpulkan olehnya sekitar waktu terjadinya peristiwa yang dilaporkan. Catatannya seotentik yang diharapkan dari periode itu.[33]

Tahun-tahun terakhir ath-Thabari ditandai dengan konflik dengan pengikut Hambali dari al-Hasan bin 'Ali al-Barbahari, murid-murid Ahmad bin Hambal. Tabari dikenal karena pandangannya bahwa Hambalisme bukanlah aliran pemikiran yang sah, karena Ahmad bin Hambal adalah penyusun hadis dan bukan ahli hukum yang tepat.[35] Kaum Hambali di Baghdad sering melempari batu ke rumah ath-Thabari, meningkatkan penganiayaan ke titik di mana otoritas Abbasiyah harus menaklukkan mereka dengan paksa. Kepala polisi Baghdad mencoba mengatur debat antara ath-Thabari dan Hambali untuk menyelesaikan perbedaan mereka. Sementara ath-Thabari menerimanya, orang Hambali tidak muncul, melainkan datang kemudian untuk melempari rumahnya dengan batu lagi. Ancaman kekerasan terus-menerus dari para Hambali membayangi kepala ath-Thabari selama sisa hidupnya.

Ath-Thabari meninggal dunia di Baghdad pada 17 Februari 923 atau menurut penanggalan Hijriyah, yaitu pada tahun 310 H.[4]

Beliau adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir Al-Ghalib. Nama fanggilan beliau adalah Abu Ja’far.

Menurut pendapat yang kuat, beliau dilahirkan pada tahun 225 H, di daerah Amal, yaitu suatu daerah yang subur di salah satu daerah di Thabaristan.

Sanjungan para Ulama terhadapnya

Al-Khatib Al-Baghdadi berkata: “Muhammad bin Jarir bin yazid bin Katsir Al-Ghalib adalah salah satu dari para imam yang perkataannya dijadikan sandaran hukum, pendapat dan pengetahuannya sering dijadikan sebagai rujukan. Imam Ath-thabari menguasai banyak ilmu, yang tidak satu pun ulama di masanya seperti dia. Dia mampu menghafal Al-Qur an sekaligus qira’atnya (cara membacanya) dan mengetahui makna berserta hukum-hukum yang dikandungnya. Dia juga menguasai hadits-hadits dan jalur-jalur periwayatannya, sehingga dia dapat memilah-milah mana yang termasuk hadits-hadits yang shahih dan mana yang tidak shahih, mana yang Nasikh dan mana yang mansukh. Imam Ath-Thabari juga juga mengetahui tentang atsar para shahabat dan peradapan manusia”. (Tarikh baghda: 2/163)

Ibnu Suraij berkata: “Muhammad bin Jarir Ath-Thabari adalah ulama ahli fikih dunia”.

Yaqut Al-Hawawi berkata: “Abu Ja’far Ath-Thabari adalah seorang ulama ahli hadits dan ahli fiqih. Dia adalah ulama yang sudah ma’ruf dan masyhur mengetahui qira’ah dan sejarah”.

Imam Ibnu Katsir berkata: “Abu Ja’far Ath-Thabari satu dari sekian banyak ulama yang memperaktekan kitab Allah ta’ala Al-Qur an dan sunnah Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam“.

Ia memulai perjalanan menutut ilmu pasca tahun 240 H. Banyak menjelajah bumi, bertemu dengan para tokoh mulia, menyodorkan bacaan al-Qur annya kepada al-‘Abbas bin al-Walid, kemudian pindah darinya menuju Madinah Munawwarah, kemudian ke Mesir, Ray dan Khurasan. Lalu akhirnya menetap di Baghdad.

Ath-Thabari mendengar dari sejumlah Syaikh, sejumlah perjalanan dilakukannya ke sekian banyak ibukota-ibukota dunia Islam yang berjaya dengan para ulama dan ilmunya, salah satunya, Mesir.

Guru-guru beliau sebagai mana yang disebutkan Oleh imam Adz-Dzahabi adalah: 1. Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Asy-Syawarib 2. Ismail Bin Musa As-Sanadi 3. Ishaq bin Abi Israel 4. Muhammad bi Abi Ma’syar 5. Muhammad bin Hamid Ar-Razi 6. Ahmad bin Mani’ 7. Abu Kuraib Muhammad Ibnul A’la 8. Ash-Shan’ani 9. Bundar 10. Muhammad bin Al-Mutsanna, dan selain mereka.

Adapun diantara murid-murid beliau adalah: 1. Abu Syuaib bin Abdillah bin Al-Hasan bin Al-Harani. 2. Abul Qasim Ath-Thabrani 3. Ahmad bin Kamil Al-Qadhi 4. Abu Bakar Asy-Syafi’i 5. Abu Ahmad Ibnu Adi 6. Mukhallad bin Ja’far Al-Baqrahi 7. Abu Mammad Ibnu Zaid Al-Qadhi 8. Ahmad bin Al-Qasim Al-Khasysyab 9. Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan 10. Abu Ja’far bin Ahmad bin Ali Al-Katib, dan selai mereka.

Ath-Thabari termasuk ulama pada masanya yang paling produktif dalam menelurkan karya tulis. Di antara karya-karya tulisnya yang paling populer adalah tafsirnya yang bernama Tafsir ath-Thabari dan kitab Tarikh al-Umam Wa al-Muluk. Diriwayatkan darinya, bahwa ia pernah berkata, “Tiga tahun lamanya, aku memohon pilihan terbaik kepada Allah dan meminta pertolonganNya atas penulisan karya tafsir yang aku niatkan, sebelum aku mengerjakannya, lantas Dia memberikan pertolonganNya kepadaku.”

Al-Hakim berkata, “Dan aku mendengar Abu Bakar bin Balwaih berkata, ‘Abu Bakar bin Khuzaimah berkata kepadaku, ‘Telah sampai ke telingaku bahwa engkau telah menulis tafsir dari Muhammad bin Jarir.’ Aku berkata, ‘Benar, aku menulis darinya secara dikte.’ Ia berkata, ‘Seluruhnya.?’ Aku berkata, ‘Ya.’ Ia berkata, ‘Tahun berapa.?’ Aku menjawab, ‘Dari tahun 283 H hingga 290 H.’ Ia berkata, ‘Lalu Abu Bakar meminjamnya dariku, kemudian mengembalikannya setelah sekian tahun, kemudian ia berkata, ‘Aku telah melihat isinya, dari awal hingga akhirnya. Aku tidak mengetahui di muka bumi ini ada orang yang paling berilmu dari Muhammad bin Jarir.’”

Sebagian ulama berkata, “Andaikata seorang laki-laki bepergian ke China hingga mendapatkan tafsir Muhammad bin Jarir, maka pastilah tidak akan banyak.”

Karyanya yang lain adalah: 1. Dzail Al-Mudzil 2. Ikhtilaf Ulama Al-Amshar Fil Ahkam Syarai Al-Islam, yang lebih dikenal dengan nama Ikhtilaf Al-Fuqaha. 3. Lathif Al-Qaul Fi Ahkam Syar’I Al-Islam, fiqih Ibnu Jarir 4. Basith Al-Qaul Fi Ahkam Al-Islam 5. Adab Al-Qudhah, dan selainya masih sangat banyak.

Metodenya Dalam Penulisan

Diriwayatkan dari Abu Sa’id ad-Dinuri, orang yang mendiktekan kepada Ibn Jarir, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari memberitahukan kepada kami tentang aqidahnya, di antaranya, “Cukuplah bagi seseorang untuk mengetahui bahwa Rabbnya adalah Dzat yang meninggi di atas ‘Arsy; siapa yang melebihi dari itu, maka ia telah berbuat sia-sia dan merugi.”

Ini adalah tafsir imam ini tentang ayat-ayat sifat yang penuh dengan perkataan-perkataan ulama Salaf dalam menetapkannya, bukan menafikan atau menakwilkannya. Bahwa sifat itu tidaklah menyerupai sifat-sifat para makhluk sama sekali.

Beberapa Momentum Dalam Hidupnya

Diceritakan, pernah al-Muktafi (khalifah) ingin menahan wakaf yang sudah disepakati oleh para ulama, lalu ia menghadirkan Ibn Jarir untuk itu, lalu ia mendiktekan sebuah kitab berkenaan dengan itu. Setelah itu, ia diberi hadiah namun ditolaknya. Lantas ada yang mengatakan kepadanya, “Harus diambil untuk memenuhi kebutuhanmu.” Lalu ia berkata, “Mintalah kepada Amirul Mukminin agar melarang meminta-minta pada hari Jum’at.” Lalu Amirul Mukminin pun melakukannya. Demikian pula, pernah seorang menteri memintanya agar mengarang sebuah buku tentang fiqih, lalu ia pun mengarang untuknya sebuah buku ringan, lalu ia diberi uang sejumlah 1000 dinar namun ditolaknya.

Ath-Thabari tidak mau menerima jabatan karena takut mengalihkannya dari menuntut ilmu. Di samping alasan lainnya, yaitu bahwa ketika itu sudah menjadi kebiasaan ulama menjauhi kekuasaan.

Al-Maraghi meriwayatkan, “Tatkala al-Khaqani memangku jabatan menteri, ia memerintahkan agar memberikan kepada Abu Ja’far ath-Thabari uang yang banyak, namun ia tidak mau menerimanya. Lalu sang menteri menawarkan jabatan Qadhikepadanya tetapi ia menolaknya, lalu menawarkan kepadanya jabatan ketua al-Mazhalim (semacam lembaga pengaduan atas tindakan zhalim), akan tetapi ia tetap menolaknya. Karena penolakannya itu, sahabat-sahahabatnya mencercanya seraya berkata, “Kamu dapat pahala menjalani jabatan ini, dapat menghidupkan sunnah.” Mereka pun mendesaknya agar menerima jabatan ‘prestisius’ itu. Mereka membawanya bersama mereka untuk menghadap guna menerima jabatan itu, namun mereka malah dihardiknya, seraya berkata, “Sungguh, aku sebelumnya mengira andai menerima jabatan itu, kalian justeru akan melarangku.” Perawi mengatakan, “Lalu kami pun berpaling darinya karena merasa malu.”

Abu Muhammad al-Firghani berkata, “Abu Bakar ad-Dinuri menceritakan kepadaku, ia berkata, ‘Tatkala waktu shalat Zhuhur tiba pada hari Senin di mana Ibn Jarir wafat di akhir waktunya, ia meminta air untuk memperbarui wudhunya, ada yang mengatakan kepadanya, ‘Sebaiknya kamu shalat jamak ta`khir saja (shalat Zhuhur dilakukan pada waktu Ashar dengan menggabungkannya dengan shalat Ashar).’ Namun ia menolak dan tetap shalat Zhuhur secara tersendiri dan Ashar juga pada waktunya secara sempurna dan demikian indahnya. Saat kematian akan menjemputnya, hadir sejumlah orang, di antara mereka ada Abu Bakar bin Kamil. Lantas ada yang berkatanya kepadanya sebelum ruhnya keluar, ‘Wahai Abu Ja’far, engkau adalah hujjah antara kami dan Allah SWT dalam keberagamaan kami, tidakkah ada sesuatu yang engkau akan wasiatkan kepada kami dari perkara agama ini, dan sebagai bukti yang karenanya kelak kami berharap dapat selamat saat kami kembali kepadaNya.?’ Ia berkata, ‘Hal yang aku jadikan agamaku kepada Allah dan aku wasiatkan adalah apa yang sudah valid (dalil yang shahih) di dalam buku-buku karyaku; amalkanlah ia…’ Dan perkataan-perkataan seperti itu. Ia lalu memperbanyak bersyahadat, berzikir kepada Allah SWT, mengusap tangannya ke wajahnya, menutup matanya dengan tangannya sendiri dan membentangkannya, lalu ruhnya pun meninggalkan dunia yang fana ini.”

Ahmad bin Kamil berkata, “Ibn Jarir wafat, malam Ahad, dua hari sebelum habis bulan Syawwal tahun 110 H, dan dikuburkan di kediamannya di ‘Rahbah Ya`qub’ (alias Baghdad).” Ia berkata, “Beliau tidak merubah ubannya di mana bulu-bulu hitam masih banyak. Matanya kecoklatan lebih cenderung kehitaman, tubuhnya kurus panjang dan lebar. Para pelayat dan pengantar jenazahnya tidak terhitung jumlahnya, hanya Allah Yang Maha Tahu.” (Abu Hafshoh)

(Sumber: Diringkas dari kitab “Min A’lamis Salaf” karya, Syaikh Ahmad Farid, edisi indonesia : “60 Bigrafi Ulama Salaf dan dari artikel berjudul, ”al-Imam ath-Thabari, Imam al-Mu`arrikhin Wa al-Mufassirin)

Al-Qur'an berisi ajaran tentang berbagai hal. Setiap ayat Al-Qur'an memiliki isi kandungan yang perlu ditafsirkan agar dapat dimengerti dan diamalkan. Dalam hal ini dibutuhkan peran para ahli ilmu tafsir.

Ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Quran, telah dikaji oleh berbagai ulama dan pakar Islam terutama kajian terhadap isi kandungan Al-Quran yang melahirkan antara lain ilmu tafsir.

Berbagai pakar ilmu tafsir dan cendekiawan muslim telah berupaya mengkaji ayat-ayat Al-Qur'an dengan mengklasifikasikannya menjadi dua macam ayat, yaitu ayat qauliyah/qur-aniah yang bermuatan ilmu-ilmu agama (Imtaq), dan ayat-ayat kauniyah yang berisi petunjuk/ isyarat bagi ilmu-ilmu umum (Iptek).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengutip buku Integrasi Pembelajaran Bidang Studi Iptek dan Al-Islam oleh Mukhtar Samad, dijelaskan, dari berbagai hasil kajian para pakar tentang isi kandungan Al-Qur'an tersebut dapat dipahami bahwa Al-Qur'an mempunyai fungsi pokok, yakni sebagai petunjuk bagi hidup dan kehidupan umat manusia.

Di antara petunjuk Al-Qur'an adalah petunjuk dalam hal sains dan teknologi (Iptek) yang dimuat dalam ayat-ayat kauniyah, dan tidak boleh dipisahkan dari ayat-ayat qauliyah yang berisi petunjuk tentang ilmu agama. Keduanya bersifat menyatu atau terpadu.

Melalui tafsir dari para ulama ini, umat muslim bisa lebih mudah memahami makna dan isi kandungan Al-Qur'an sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.